Firman Muntaco, sebuah nama yang melegenda di masyarakat betawi. Namun nama yang sekarang seakan tenggelam di kelamnya dunia sastra Indonesia. Dunia sastra yang kurang mempedulikan apa arti dari budaya itu sendiri. Banyak penulis, penyair, atau sastrawan berlomba-lomba untuk membuat namanya terkenal dan harum. Tapi tidak begitu dengan Om Firman.
Om Firman lahir di Jakarta 5 Mei 1935 dan meninggal juga di Jakarta 10 Januari 1993. Namanya tidak sebesar Benyamin Sueb, wajahnya tidak terpampang di baju kaos ataupun di papan reklame. Tapi sesungguhnya dialah yang mengangkat budaya betawi dari pelosok gang-gang suram di daerah slipi. Sebagai satu-satunya orang dari 5 bersaudara ( 3 pria dan 2 wanita) yang terjun ke dunia sastra, Firman tidak pantang menyerah dalam menggapai cita-cita untuk mengharumkan budaya Betawi.
Ayahnya terkenal sebagai tuan tanah dan juragan susu di daerah Slipi, Jakarta Pusat. Tapi tidak sekalipun Firman berusaha untuk mencicipi kekayaan yang dimiliki oleh ayahnya. Firman berusaha dari nol, dia memulai menulis dari saat masih sma. Ia berhasil membuat cerpen dalam bahasa Betawi dan mencerminkan keadaan sosial saat itu.
Sungguh sayang, mereka yang menyebut diri mereka budayawan, Sastrawa, Penyair, dan Pencinta Sastra kalau sampai tidak mengenal sosok Firman Muntaco. Sosok yang rendah hati dan tidak sombong, sosok yang di hari tuanya hidup sengsara dan susah. Bahkan sampai detik ini anak dan cucu dari Om Firman tidak ada yang meneruskan sepak terjangnya di bidang sastra. Hanya seorang cucunya yang berasal dari adiknya Taufik Muntaco, yang bernama Aulya Elyasa terjun kedalam dunia sastra dan penulisan.
Karya Firman sekarang sudah dibukukan. Buku kumpulan cerpen dari Firman Muntaco yang diterbitkan oleh Masup Jakarta. Buku kumpulan cerpen yang berjudu Gambang Jakarta. Sebuah arsip sejarah yang berisi karya dari Firman Muntaco sang Legenda Betawi.
Sebagai penerus generasi Indonesia dan penjaga budaya Indonesia. Kita seharusnya mengetahui bahkah mencintai sastra dan budaya kita sendiri. Sebagaimana Firman Muntaco yang mencintai Indonesia dan Betawi, hingga akhir hayatnya
Leave a comment